Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam…” (Qs. Al An’am:162).
Rasulullah menatap satu persatu para sahabat yang sedang berkumpul dalam majelis, hening dan tawadlu. "Ya Rasulullah", ujar salah seorang hadirin memecahkan keheningan. " Bila pertanyaanku ini tidak menimbulkan kemarahan bagi Allah, sudilah engkau menjawabnya". "Apa yang hendak engkau tanyakan itu", tanya Rasulullah dengan nada suara yang begitu lembut. Dengan sikap yang agak tegang si sahabat itupun langsung bertanya: "Siapakah diantara kami yang akan menjadi akhli surga?" Tiba-tiba, bagai petir menyambar, jiwa-jiwa yang tadinya tawadlu, nyaris menjadi luka karena murka. Pertanyaan yang sungguh keterlaluan, setengah sahabat menilainya mengandung ujub (bangga atas diri sendiri) atau riya’. Adalah Ummar bin Khattab yang sudah terlebih dahulu bereaksi, bangkit untuk menghardik si penanya. Untunglah Rasulullah menoleh ke arahnya sambil memberi isyarat untuk menahan diri.
Rasulullah menatap ramah, beliau dengan tenangnya menjawab: "engkau lihatlah ke pintu, sebentar lagi orangnya akan muncul". Lalu setiap pasang matapun menoleh ke ambang pintu, dan setiap hati bertanya-tanya, siapa gerangan orang hebat yang disebut Rasulullah ahli surga itu. Sesaat berlalu dan orang yang mereka tunggupun muncul. Namun manakala orang itu mengucapkan salam kemudian menggabungkan diri ke dalam majelis, keheranan mereka semakin bertambah. Jawaban Rasulullah rasanya tidak sesuai dengan logika mereka. Sosok tubuh itu tidak lebih dari seorang pemuda sederhana yang tidak pernah tampil di permukaan. Ia adalah sepenggal wajah yang tidak pernah mengangkat kepala bila tidak ditanya dan tidak pernah membuka suara bila tidak diminta. Ia bukan pula termasuk dalam daftar sahabat dekat Rasulullah. Apa kehebatan pemuda ini? Setiap hati menunggu penjelasan Rasulullah.
Menghadapi kebisuan ini, Rasulullah bersabda: "Setiap gerak-gerik dan langkah perbuatannya hanya ia ikhlaskan semata-mata mengharapkan ridla Allah. Itulah yang membuat Allah menyukainya".
Bagai sembilu, menusuk tajam dada mereka, serentak setiap hati bermuhasabah. Ikhlas, alangkah indahnya ma’na yang terkandung di dalamnya. Ikhlas bersih dari segala maksud-maksud pribadi, bersih dari segala pamrih dan riya’, bersih dari harap dan kecewa, bebas dari segala simbol-simbol pribadi atau kelompok, bebas dari pada perhitungan untung rugi material. Ikhlas, bersih dari segala hal yang tidak disukai Allah. Ikhlas dalam menjadikan Allah sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara, dan Penguasa alam raya, ikhlas dalam menjadikan Allah satu-satunya Dzat yang diharapkan, ditakuti, dicintai, diikuti. satu-satunya Dzat yang diabdi, disembah. Ikhlas menerima Muhammad SAW sebagai teladan, penjelas, penyampai risalah Islam yang sempurna, dan ikhlas menerima al Qur’an sebagai pedoman hidup.
Semua hati kembali tawadlu, membisu berefleksi, sebagian berkaca-kaca, air mata mengembang, menelusuri niat dalam hati, mencari was-wasil khannas yang mungkin diam mengendap di dasar kalbu, menutupi ikhlas. Ikhlas adalah salah satu tiang akhlaq islami, tanpanya maka amal akan lenyap bak buih membentur karang, tak ada manfaat. Inilah kualitas paripurna kemurnian hati, hanya karena Allah dan untuk Allah.
(Sumber: //beranda.blogsome.com/2006/05/18/iklas diakses tanggal 11 Maret 2008)